Badan pemerintahan yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum, sejatinya itulah Polisi. Betapa mulianya anggota Polisi Republik Indonesia (Polri) bila mereka dalam menjalankan tugasnya di mana pun berada sungguh sungguh berada dalam koridornya, seperti makna yang terkandung dalam kata Polisi.
Polisi memang harus berada di tengah-tengah masyarakat, baik saat damai juga ketika terjadi suasana ricuh. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Polisi selain pemelihara ketertiban umum, juga adalah badan atau lembaga Negara dalam penegakan hukum.
Polisi juga kerap dijadikan alat kepentingan dengan berbagai cara oleh kalangan tertentu untuk mewujudkan bisnis dan kemauannya. Bukan saja oleh sekelompok jaringan mafia ilegal (liar/melanggar hukum) tapi juga oleh para orangtua. Sekalipun tujuannya hanya untuk mengatasi sebuah persoalan kecil menyangkut sikecil.
Seperti yang banyak terjadi di berbagai pedesaan atau perkampungan oleh para orangtua dalam mengatasi anak kecilnya yang merengek menangis lama membosankan. “Awas Polisi datang, nanti kau dibawa dan ditangkap!,” kata si-orangtua berbohong hanya untuk mendiamkan sang anak.
Hal itu sebagai bukti bahwa keberadaan dan kehadiran Polisi sangat bermanfaat bagi masyarakat. Untuk itu, sudah saatnya berhenti menghujat dan menilai buruk Polri.
Kini saatnya secara bersama mereformasi diri dengan menjadikan diri kita sendiri sebagai Polisi bagi kita (self police). Demikian halnya kepada Polisi yang sudah berusia 67 Tahun (tua) supaya tidak lagi dominan mengedepankan amunisi atau senjata dalam menghadapi masyarakat yang lantang teriak melakukan kritikan terhadap penyelenggara Negara. Selamat HUT Bhayangkara ke 67 Tahun.
Secara umum Polisi dalam sehariannya mengemban tiga tugas pokok yang disebut; melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat serta melakukan penegakan hukum yang berkeadilan.
Dalam usianya yang ke 67 tahun, masyarakat Indonesia di berbagai pelosok tanah air, masih saja mengeluhkan keberadaan Polisi. Dinilai miring; anarkis, berpihak kepada kalangan tertentu, serta kerap standar ganda dalam menjalankan tugasnya.
Pasca reformasi penilain miring kian nyaring terkumandang kepada Polisi. Dari soal sengketa tanah, protes keluarga terduga teroris, hingga masalah rekening gendut dan korupsi, serta maraknya perjudian di tanah air. Kesemuanya hal itu ditujukan kepada Polisi tentu karena merupakan bagian dari tugas pokoknya. Dalam usianya yang ke 67 tahun, masyarakat Indonesia di berbagai pelosok tanah air, masih saja mengeluhkan keberadaan Polisi. Dinilai miring; anarkis, berpihak kepada kalangan tertentu, serta kerap standar ganda dalam menjalankan tugasnya.
Polisi memang harus berada di tengah-tengah masyarakat, baik saat damai juga ketika terjadi suasana ricuh. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Polisi selain pemelihara ketertiban umum, juga adalah badan atau lembaga Negara dalam penegakan hukum.
Polisi juga kerap dijadikan alat kepentingan dengan berbagai cara oleh kalangan tertentu untuk mewujudkan bisnis dan kemauannya. Bukan saja oleh sekelompok jaringan mafia ilegal (liar/melanggar hukum) tapi juga oleh para orangtua. Sekalipun tujuannya hanya untuk mengatasi sebuah persoalan kecil menyangkut sikecil.
Seperti yang banyak terjadi di berbagai pedesaan atau perkampungan oleh para orangtua dalam mengatasi anak kecilnya yang merengek menangis lama membosankan. “Awas Polisi datang, nanti kau dibawa dan ditangkap!,” kata si-orangtua berbohong hanya untuk mendiamkan sang anak.
Hal itu sebagai bukti bahwa keberadaan dan kehadiran Polisi sangat bermanfaat bagi masyarakat. Untuk itu, sudah saatnya berhenti menghujat dan menilai buruk Polri.
Kini saatnya secara bersama mereformasi diri dengan menjadikan diri kita sendiri sebagai Polisi bagi kita (self police). Demikian halnya kepada Polisi yang sudah berusia 67 Tahun (tua) supaya tidak lagi dominan mengedepankan amunisi atau senjata dalam menghadapi masyarakat yang lantang teriak melakukan kritikan terhadap penyelenggara Negara. Selamat HUT Bhayangkara ke 67 Tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar