Rabu, 27 Februari 2013

Editorial Edisi 30

Hak Guru Masih Teperkosa 
 Berbagai upaya untuk mengangkat taraf hidup dan harkat kaum pengajar atau guru telah beragam cara dilakukan Pemerintah. Selain menobatkan para guru sebagai pahlawan tanpa jasa, Negara juga telah menerbitkan hukum khusus mengatur nilai minimal anggaran Negara di lingkungan dunia pendidikan Indonesia sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN),
demikian halnya di berbagai daerah (provinsi, kota/kabupaten) melalui Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD). Namun apa yang terjadi dengan nasib para Omar Bakri versi Iwan Fals di lapangan, sudakah pekerja pengajar itu hak normatifnya yang secara teoritis dijamin dan tertuang dalam Undang-Undang Negara RI tersebut terwujud ?? Kenyataannya dan jawabnya tidak. Kecuali itu = Pahlawan tanpa tanda jasa, yang hanya sebatas teori belaka. Apa arti pemberian gelar Pahlawan bila bangsa ini tidak menghargai jasa jasanya, bukankah hal tersebut berubah menjadi penistaan terhadap bangsanya sendiri? Memang, masih ada terjadi seseorang memiliki kemampuan/mendapatkan pengetahuan di luar keberadaan sang guru secara langsung mengajari. Mereka tersebut belajar mandiri. Kenyataan seperti ini sukar ditemukan karena hanya terjadi pada orang orang tertentu. Seiring dengan hal tersebut, betapa pentingnya keberadaan guru bagi siapa pun dan di mana pun itu. Tidaklah berlebihan bila disebutkan guru mengajar adalah mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada siapa dia mengajar. Betapa mulianya hal itu bila diartikan dengan sadar dan benar. Sejatinya, tidak lah benar bila disebutkan murid lebih pintar dari gurunya. Kecuali, murid lebih tidak bermoral daripada guru. Maka tidaklah mengherankan bila seorang guru terlanjur berbuat salah (melanggar hukum) terhadap muridnya, seluruh masyarakat di pelosok tanah air, akan mengetahuinya dan menjadi sebuah penetapan buruk terhadap si guru tersebut. Tapi sebaliknya, bila sang murid meski berulangkali berbuat kesalahan serupa terhadap gurunya hanya dianggap proses pendewasaan atau hal lumrah dan sebagainya yang berpotensi keberpihakan terhadap murid/siswa. Demikian halnya dengan hak normatif para guru yang diproyeksikan dalam anggaran pemerintah, di pusat melalui APBN dan di daerah melalui APBD, kerap masih dipermainkan oleh penentu kebijakan. Seperti pada Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil (Tamsil Guru PNSD) dan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Meski aturan pengelolaannya dalam hal pencairannya sudah sedemikian rupa diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) selaku pihak Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), disebutkan (intinya); “pencairan Tamsil Guru PNSD dan TPG per triwulan (tiga bulan sekaligus)” tapi oleh pejabat daerah di tingkat Dinas Pendidikan masih saja berani mengabaikannya dan mencairkannya semaunya dengan cara per dwibulanan (dua bulan) seperti yang terungkap di Kota Bekasi. Ironisnya, meski hal itu diinformasikan kepada pejabat Kementerian Keuangan selaku Kuasa Pengguna Anggaran (Direktur Dana Perimbangan, Adijanto) dengan sejumlah bukti penyimpangan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Bekasi, tapi Adijanto masih saja tetap memberikan jawaban, tidak ada penyimpangan. Bukankah hal itu juga telah turut serta memerkosa hak normatif para guru? Sekedar untuk diketahui bahwa ditemukan banyak guru di daerah, khususnya para guru PNS terpaksa harus berurusan dengan pebisnis uang (rentenir) untuk menutupi kebutuhan primernya faktor hak mereka akan Tamsil dan TPG teperkosa (tak didapatkan sebagaimana mestinya). Patut menjadi perhatian pihak berwenang. (R).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita Terkait