Kami Saling Menyintai Meski Tidak Berjodoh
Selama hidupku, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, tak akan pernah dapat kulupakan dalam hidupku. Selain sebagai tempat kelahiranku, juga di kota adipura itu pertama kali kudapatkan cinta tulus (sejati) dari seorang gadis remaja cantik siswi SMP RK, JL. Sibolga Pematangsiantar,
yang kunobatkan dalam hatiku putri raja keturunan terhormat boru Dmnk (singkat).
Meski status ekonomi orangtua kami jauh berbeda, namun dia, sebut saja OD, tidak pernah surut kasihnya terhadapku. Bukan hanya itu, OD bahkan sering membantu dan memberiku sejumlah uang dari sisa jajannya yang diberikan oleh orangtuanya manakala kami berduaan.
Hari hari kami dalam menjalin cinta kian kompak, dan tanpa terasa berjalan sudah begitu panjang. OD yang kucinta sejak di banku Kelas I SMP ternyata sudah duduk di Kelas 2 SMA Budi Mulia Pematangsiantar. Tak terasa empat tahun lamanya kami sudah menjalin hubungan cinta, hingga suatu ketika saya ditegur hormat dengan lontaran kalimat sopan oleh saudaranya lelaki HD karena mengetahui kami tengah bertemu di kampungnya, di luar rumah.
Maklum orangtua mereka terpandang, selain anggota TNI berpangkat perwira, juga sebagai Lurah. “Lae, datanglah ke rumah baik baik, bila ingin bertemu dengan adikku. Kami akan terima dengan senang hati,” katanya sopan dan berlalu dari hadapan kami (aku dan adiknya) dan saat itu kujawab, “iya Lae, terimakasih.
Hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun, tak terasa kekasihku tercinta OD tak lama lagi bakal melanjutkan sekolahnya ke Jakarta, kuliah sesuai cita citanya yang pernah diutarakannya kepadaku.
Mengingat itu, aku pun sadar bahwa kami tak lama lagi bakal berjauhan badan. Entah mengapa tiba tiba pikaranku sadar dan berniat akan berangkat ke Jakarta, kembali bersekolah yang dahulu kutinggalkan di bangku SMA Kelas 3. Kemudian suatu hari pada malam sekitar pukul 6.30 saya minta tolong kepada tetangganya teman kami, kukatakan, “tolong kak panggil OD, besok saya akan berangkat ke Jakarta, kembali bersekolah”.
Tak lama kekasihku OD sudah datang menemuiku di rumah si Kakak (tetangganya). Kami pun disarankan untuk ngobrol di belakang rumah si Kakak yang kala itu masih rimbun banyak ditanami pepohonan dan akses jalan ke belakang (kebun) hanya melalui rumah si Kakak tersebut.
OD yang mengetahui bahwa besok aku berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah, meski mendadak dia ketahui, tapi tetap mendukungku. “Berangkatlah pak, aku juga pasti ke Jakarta nanti kuliah,” sambutnya sambil memelukku.
Malam itu, hanya pepohonan rindang di kebun itu yang menjadi saksi betapa dalamnya kami membuktikan tali kasih dan cinta kami berdua. Kami memang sudah lama bersumpah (janji) sehidup semati dan tidak akan pernah saling melupakan dan menghianati cinta kasih yang kami jalin.
Kami pun kian larut dalam mengartikan cinta, dan tanpa sadar tubuh kami berdua pada bagian tertentu tidak lagi ditutupi pakaian dan (maaf) celana dalam sudah terlepas dari badan. Kepada OD saat itu juga kubisikan kata, “apa kita lakukan lebih jauh?” Kekasihku OD menjawabku tidak dengan perkataan, tapi memelukku lebih erat dan merespon gerakanku yang kala itu harus kuakui sudah bernafsu.
Terus terang, hati kecilku pun di malam itu mengatakan, bila kami lakukan hubungan yang lebih jauh layaknya suami istri, OD tak bakal lupa lagi kepadaku. Maklum yang kudengar dan pahami kala itu bahwa bagi wanita kegadisan (keperawanan) merupakan hal yang paling nilainya.
Kami pun larut dan kian erat saling berpelukan hingga OD kudengar meriang memanggilku, pak…, sakit, pak…,sakiiit, namun dia tetap tak melepas pelukannya membuatku kian lebih mereaksinya hingga akhirnya dia menggigit dadaku sebelah kiri hingga luka. Kami berdua pun malam itu bersama merasakan nikmat dan sakit pada bagian tubuh tertentu.
Perlahan kami saling melepas pelukan, dan bersamaan saya mengenakan pakaian, kekasihku OD pun kudengar terisak menangis. Kukenakan pakaiannya dalamnya yang putih sudah bebercak merah, kuyakini darahnya. OD kembali memelukku dan menangis menuturkan, “sudah semuanya kuberikan padamu pak, jangan lupa dan hiananti sumpah dan janji yang kita ucapkan bersama sehidup semati. Kita tidak akan berpisah, putus dan bercerai, jika bukan karena kematian. Berangkatlah besok, aku mungkin tidak bisa mengantarmu”. (tulisan ini dikisahkan oleh sumber WANTARA /bersambung. (RAM)
Selama hidupku, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, tak akan pernah dapat kulupakan dalam hidupku. Selain sebagai tempat kelahiranku, juga di kota adipura itu pertama kali kudapatkan cinta tulus (sejati) dari seorang gadis remaja cantik siswi SMP RK, JL. Sibolga Pematangsiantar,
yang kunobatkan dalam hatiku putri raja keturunan terhormat boru Dmnk (singkat).
Meski status ekonomi orangtua kami jauh berbeda, namun dia, sebut saja OD, tidak pernah surut kasihnya terhadapku. Bukan hanya itu, OD bahkan sering membantu dan memberiku sejumlah uang dari sisa jajannya yang diberikan oleh orangtuanya manakala kami berduaan.
Hari hari kami dalam menjalin cinta kian kompak, dan tanpa terasa berjalan sudah begitu panjang. OD yang kucinta sejak di banku Kelas I SMP ternyata sudah duduk di Kelas 2 SMA Budi Mulia Pematangsiantar. Tak terasa empat tahun lamanya kami sudah menjalin hubungan cinta, hingga suatu ketika saya ditegur hormat dengan lontaran kalimat sopan oleh saudaranya lelaki HD karena mengetahui kami tengah bertemu di kampungnya, di luar rumah.
Maklum orangtua mereka terpandang, selain anggota TNI berpangkat perwira, juga sebagai Lurah. “Lae, datanglah ke rumah baik baik, bila ingin bertemu dengan adikku. Kami akan terima dengan senang hati,” katanya sopan dan berlalu dari hadapan kami (aku dan adiknya) dan saat itu kujawab, “iya Lae, terimakasih.
Hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun, tak terasa kekasihku tercinta OD tak lama lagi bakal melanjutkan sekolahnya ke Jakarta, kuliah sesuai cita citanya yang pernah diutarakannya kepadaku.
Mengingat itu, aku pun sadar bahwa kami tak lama lagi bakal berjauhan badan. Entah mengapa tiba tiba pikaranku sadar dan berniat akan berangkat ke Jakarta, kembali bersekolah yang dahulu kutinggalkan di bangku SMA Kelas 3. Kemudian suatu hari pada malam sekitar pukul 6.30 saya minta tolong kepada tetangganya teman kami, kukatakan, “tolong kak panggil OD, besok saya akan berangkat ke Jakarta, kembali bersekolah”.
Tak lama kekasihku OD sudah datang menemuiku di rumah si Kakak (tetangganya). Kami pun disarankan untuk ngobrol di belakang rumah si Kakak yang kala itu masih rimbun banyak ditanami pepohonan dan akses jalan ke belakang (kebun) hanya melalui rumah si Kakak tersebut.
OD yang mengetahui bahwa besok aku berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah, meski mendadak dia ketahui, tapi tetap mendukungku. “Berangkatlah pak, aku juga pasti ke Jakarta nanti kuliah,” sambutnya sambil memelukku.
Malam itu, hanya pepohonan rindang di kebun itu yang menjadi saksi betapa dalamnya kami membuktikan tali kasih dan cinta kami berdua. Kami memang sudah lama bersumpah (janji) sehidup semati dan tidak akan pernah saling melupakan dan menghianati cinta kasih yang kami jalin.
Kami pun kian larut dalam mengartikan cinta, dan tanpa sadar tubuh kami berdua pada bagian tertentu tidak lagi ditutupi pakaian dan (maaf) celana dalam sudah terlepas dari badan. Kepada OD saat itu juga kubisikan kata, “apa kita lakukan lebih jauh?” Kekasihku OD menjawabku tidak dengan perkataan, tapi memelukku lebih erat dan merespon gerakanku yang kala itu harus kuakui sudah bernafsu.
Terus terang, hati kecilku pun di malam itu mengatakan, bila kami lakukan hubungan yang lebih jauh layaknya suami istri, OD tak bakal lupa lagi kepadaku. Maklum yang kudengar dan pahami kala itu bahwa bagi wanita kegadisan (keperawanan) merupakan hal yang paling nilainya.
Kami pun larut dan kian erat saling berpelukan hingga OD kudengar meriang memanggilku, pak…, sakit, pak…,sakiiit, namun dia tetap tak melepas pelukannya membuatku kian lebih mereaksinya hingga akhirnya dia menggigit dadaku sebelah kiri hingga luka. Kami berdua pun malam itu bersama merasakan nikmat dan sakit pada bagian tubuh tertentu.
Perlahan kami saling melepas pelukan, dan bersamaan saya mengenakan pakaian, kekasihku OD pun kudengar terisak menangis. Kukenakan pakaiannya dalamnya yang putih sudah bebercak merah, kuyakini darahnya. OD kembali memelukku dan menangis menuturkan, “sudah semuanya kuberikan padamu pak, jangan lupa dan hiananti sumpah dan janji yang kita ucapkan bersama sehidup semati. Kita tidak akan berpisah, putus dan bercerai, jika bukan karena kematian. Berangkatlah besok, aku mungkin tidak bisa mengantarmu”. (tulisan ini dikisahkan oleh sumber WANTARA /bersambung. (RAM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar